Keselamatan dan kesehatan kerja (K3)
merupakan instrumen yang memproteksi pekerja, perusahaan, lingkungan hidup, dan
ma-syarakat sekitar dari bahaya akibat kecelakaan kerja. Perlindungan tersebut
merupakan hak asasi yang wajib dipenuhi oleh perusahaan. K3 bertujuan mencegah,
mengurangi, bahkan menihilkan risiko kecelakaan kerja (zero accident). Penerapan
konsep ini tidak boleh dianggap sebagai upaya pencegahan kecelakaan kerja dan
penyakit akibat kerja yang menghabiskan banyak biaya (cost) perusahaan,
melainkan harus dianggap sebagai bentuk investasi jangka panjang yang memberi
keuntungan yang berlimpah pada masa yang akan datang.
Bagaimana K3 dalam perspektif hukum?
Ada tiga aspek utama hukum K3 yaitu norma keselamatan, kesehatan kerja, dan
kerja nyata. Norma keselamatan kerja merupakan sarana atau alat untuk mencegah
terjadinya kecelakaan kerja yang tidak diduga yang disebabkan oleh kelalaian
kerja serta lingkungan kerja yang tidak kondusif. Konsep ini diharapkan mampu
menihilkan kecelakaan kerja sehingga mencegah terjadinya cacat atau kematian
terhadap pekerja, kemudian mencegah terjadinya kerusakan tempat dan peralatan
kerja. Konsep ini juga mencegah pencemaran lingkungan hidup dan masyarakat
sekitar tempat kerja.Norma kesehatan kerja diharapkan menjadi instrumen yang
mampu menciptakan dan memelihara derajat kesehatan kerja setinggi-tingginya.
K3 dapat melakukan pencegahan dan
pemberantasan penyakit akibat kerja, misalnya kebisingan, pencahayaan (sinar),
getaran, kelembaban udara, dan lain-lain yang dapat menyebabkan kerusakan pada
alat pendengaran, gangguan pernapasan, kerusakan paru-paru, kebutaan, kerusakan
jaringan tubuh akibat sinar ultraviolet, kanker kulit, kemandulan, dan
lain-lain. Norma kerja berkaitan dengan manajemen perusahaan. K3 dalam konteks
ini berkaitan dengan masalah pengaturan jam kerja, shift, kerja wanita, tenaga
kerja kaum muda, pengaturan jam lembur, analisis dan pengelolaan lingkungan
hidup, dan lain-lain. Hal-hal tersebut mempunyai korelasi yang erat terhadap
peristiwa kecelakaan kerja.
Eksistensi K3 sebenarnya muncul
bersamaan dengan revolusi industri di Eropa, terutama Inggris, Jerman dan
Prancis serta revolusi industri di Amerika Serikat. Era ini ditandai adanya
pergeseran besar-besaran dalam penggunaan mesin-mesin produksi menggantikan
tenaga kerja manusia. Pekerja hanya berperan sebagai operator. Penggunaan
mesin-mesin menghasilkan barang-barang dalam jumlah berlipat ganda dibandingkan
dengan yang dikerjakan pekerja sebelumnya. Revolusi IndustriNamun, dampak
penggunaan mesin-mesin adalah pengangguran serta risiko kecelakaan dalam
lingkungan kerja. Ini dapat menyebabkan cacat fisik dan kematian bagi pekerja.
Juga dapat menimbulkan kerugian material yang besar bagi perusahaan. Revolusi
industri juga ditandai oleh semakin banyak ditemukan senyawa-senyawa kimia yang
dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan fisik dan jiwa pekerja
(occupational accident) serta masyarakat dan lingkungan hidup.
Pada awal revolusi industri, K3
belum menjadi bagian integral dalam perusahaan. Pada era in kecelakaan kerja
hanya dianggap sebagai kecelakaan atau resiko kerja (personal risk), bukan
tanggung jawab perusahaan. Pandangan ini diperkuat dengan konsep common law
defence (CLD) yang terdiri atas contributing negligence (kontribusi kelalaian),
fellow servant rule (ketentuan kepegawaian), dan risk assumption (asumsi
resiko) (Tono, Muhammad: 2002). Kemudian konsep ini berkembang menjadi
employers liability yaitu K3 menjadi tanggung jawab pengusaha, buruh/pekerja,
dan masyarakat umum yang berada di luar lingkungan kerja.Dalam konteks bangsa
Indonesia, kesadaran K3 sebenarnya sudah ada sejak pemerintahan kolonial
Belanda. Misalnya, pada 1908 parlemen Belanda mendesak Pemerintah Belanda
memberlakukan K3 di Hindia Belanda yang ditandai dengan penerbitan Veiligheids
Reglement, Staatsblad No. 406 Tahun 1910. Selanjutnya, pemerintah kolonial
Belanda menerbitkan beberapa produk hukum yang memberikan perlindungan bagi
keselamatan dan kesehatan kerja yang diatur secara terpisah berdasarkan
masing-masing sektor ekonomi. Beberapa di antaranya yang menyangkut sektor
perhubungan yang mengatur lalu lintas perketaapian seperti tertuang dalam
Algemene Regelen Betreffende de Aanleg en de Exploitate van Spoor en Tramwegen
Bestmend voor Algemene Verkeer in Indonesia (Peraturan umum tentang pendirian
dan perusahaan Kereta Api dan Trem untuk lalu lintas umum Indonesia) dan
Staatblad 1926 No. 334, Schepelingen Ongevallen Regeling 1940 (Ordonansi
Kecelakaan Pelaut), Staatsblad 1930 No. 225, Veiligheids Reglement (Peraturan
Keamanan Kerja di Pabrik dan Tempat Kerja), dan sebagainya. Kepedulian Tinggi
Pada awal zaman kemerdekaan, aspek K3 belum menjadi isu strategis dan menjadi
bagian dari masalah kemanusiaan dan keadilan. Hal ini dapat dipahami karena
Pemerintahan Indonesia masih dalam masa transisi penataan kehidupan politik dan
keamanan nasional. Sementara itu, pergerakan roda ekonomi nasional baru mulai
dirintis oleh pemerintah dan swasta nasional.
K3 baru menjadi perhatian utama pada
tahun 70-an searah dengan semakin ramainya investasi modal dan pengadopsian
teknologi industri nasional (manufaktur). Perkembangan tersebut mendorong
pemerintah melakukan regulasi dalam bidang ketenagakerjaan, termasuk pengaturan
masalah K3. Hal ini tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1070 tentang Keselamatan
Kerja, sedangkan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan sebelumnya
seperti UU Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja, UU No. 14 Tahun 1969 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja tidak menyatakan secara
eksplisit konsep K3 yang dikelompokkan sebagai norma kerja.Setiap tempat kerja
atau perusahaan harus melaksanakan program K3. Tempat kerja dimaksud berdimensi
sangat luas mencakup segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di
permukaan tanah, dalam air, di udara maupun di ruang angkasa.
Pengaturan hukum K3 dalam konteks di
atas adalah sesuai dengan sektor/bidang usaha. Misalnya, UU No. 13 Tahun 1992
tentang Perkerataapian, UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan (LLAJ), UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan beserta
peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya. Selain sekor perhubungan di atas, regulasi
yang berkaitan dengan K3 juga dijumpai dalam sektor-sektor lain seperti
pertambangan, konstruksi, pertanian, industri manufaktur (pabrik), perikanan,
dan lain-lain.Di era globalisasi saat ini, pembangunan nasional sangat erat
dengan perkembangan isu-isu global seperti hak-hak asasi manusia (HAM),
lingkungan hidup, kemiskinan, dan buruh. Persaingan global tidak hanya sebatas
kualitas barang tetapi juga mencakup kualitas pelayanan dan jasa. Banyak
perusahaan multinasional hanya mau berinvestasi di suatu negara jika negara
bersangkutan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan hidup. Juga
kepekaan terhadap kaum pekerja dan masyarakat miskin. Karena itu bukan mustahil
jika ada perusahaan yang peduli terhadap K3, menempatkan ini pada urutan
pertama sebagai syarat investasi.